Senin, 24 Maret 2014

Kesehatan Mental (Tulisan Pertemuan 1)



KESEHATAN MENTAL
Tulisan Pertemuan 1
1.      Jelaskan tentang konsep diri secara real!
Saya adalah wanita yang berusia 19 tahun. Nama lengkap saya Raden Ritan Oktaviana, dan biasa di panggil Ritan. Saya seorang wanita kelahiran Bekasi, 05 Oktober 1994. Saya merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Saya merupakan orang yang mudah bergaul dengan siapa saja. Tapi seperti kebanyakan orang-orang pada umumnya, terkadang saya melihat seseorang dari kesan pertama yang saya lihat, baik itu positif ataupun negatif. Akan tetapi, tidak semuanya kesan pertama yang saya lihat akan berlanjut ke dalam pemikiran saya, terkadang kesan pertama itu saya abaikan terlebih lagi jika saya tidak mengenal orang tersebut.
Saya adalah seorang mahasiswi yang agak ‘kurang’ dalam soal perhitungan atau seni, bahkan kepada beberapa teman saya, saya pernah bilang “lebih baik hafalan sebuku dari pada belajar hitung-hitungan terus”. Mungkin saya seperti itu karna saya selalu kurang percaya diri saat mengerjakan soal-soal yang berbau hitungan ataupun kegiatan yang mengandung unsur seni, karna saya merasa tidak mempunyai bakat apa-apa. Tapi di balik ketidakpercayaan diri saya terhadap perhitungan dan seni, saya merupakan orang yang percaya diri jika di haruskan berhadapan dengan orang banyak.
Saya itu orang yang agak keras kepala, jika saya mau itu, ya harus itu tidak bisa di ganti yang lain oleh orang lain, kecuali jika saya sendiri yang mau. Saya juga tipe orang yang moody-an, kalau tidak suka dengan sikap seseorang biasanya saya pergi menghindar, tidak peduli dengan omongan orang itu, atau bisa saja langsung menegur orang itu. Tapi di balik sikap keras kepala dan moody-nya saya itu, saya adalah seseorang yang sangat menyukai anak-anak, bahkan saya berkeyakinan bahwa anak kecil itu adalah moodbooster saya. Dalam lingkungan sosial, saya bersikap keras, mandiri, dan berusaha cekatan juga tidak bergantung pada orang lain.
Saya itu dalam bergaul bisa di bilang memilih teman. Memilih teman di sini bukan maksudnya saya membedakan dari pintar atau tidak, cantik atau jelek, bahkan tidak membedakan dari status sosialnya. Saya kurang suka bergaul dengan teman yang hanya memanfaatkan, malas, mementingkan diri sendiri, dan terlalu ‘besar kepala’. Selain itu, dalam pertemanan saya juga mampu menjadi pendengar yang baik, saya sendiripun suka jika ada teman yang curhat dengan saya, asal topik curhatannya tidak sama seperti yang kemarin-kemarin. Bisa di bilang saya juga tipe orang yang cukup mampu menjaga rahasia seseorang.
Sekian tulisan saya mengenai diri saya sendiri secara real. Untuk penilaian terhadap diri saya, itu bagaimana anda atau pembaca menyikapinya, tetapi, don’t judge me from my blog ya.


2.      Carilah contoh kasus ketidaksehatan mental dari berbagai berita nasional lalu beri pendapat!
http://images.detik.com/content/2014/03/24/398/133325_dannybowmansundaymirror.jpg

Inggris - Bagi remaja bernama Danny Bowman (19), bukan obat terlarang atau video game yang membuat ia kecanduan melainkan selfie alias memotret dirinya sendiri. Parahnya, ketika ia gagal mendapatkan foto yang sempurna, Danny akan frustasi dan mencoba bunuh diri.

Dalam sehari, Danny akan menghabiskan waktu sepuluh jam untuk mengambil sampai 200 foto di iPhone-nya. Selama enam bulan ia tak pernah meninggalkan rumah, putus sekolah, dan menurunkan bobot sampai 12 kg demi terlihat lebih menarik di kamera. Ketika orang tuanya berusaha menasihatinya, Danny justru menjadi anak yang agresif.

Hingga suatu hari, karena terlalu frustasi gagal mendapat foto selfie yang sempurna, Danny nekat menenggak obat yang membuatnya overdosis. Untungnya, sang ibu, Penny berhasil mengetahui aksi nekat puteranya ini. Kini, Danny diyakini menjadi remaja pertama di Inggris yang kecanduan selfie.

Ia pun tengah berjuang untuk bbisa hidup normal setelah menjalani terapi di se
buah rumah sakit untuk mengobati kecanduan teknologi, OCD, dan Body Dysmorphic Disorder atau kecemasan berlebih terhadap penampilan pribadinya.

"Aku terus berusaha mendapat foto selfie yang sempurna. Ketika aku sadar tidak mendapatkannya, aku ingin mati. Aku kehilangan teman, pendidikan, kesehatan, dan hampir seluruh hidupku," kisah Danny, demikian dikutip dari Mirror, Senin (24/3/2014).

Menurut dr David Veal, psikiater yang merawat Danny, apa yang dialami Danny adalah masalah serius sebab ia bukan berniat menyombongkan diri tetapi mengalami gangguan kesehatan mental yang membuatnya ingin bunuh diri. Di Inggris, tren selfie memang sudah meningkat.

Tahun lalu, penelitian yang dilajukan Oxford English Dictionary menunjukkan frekuensi selfie penduduk melonjak 17.000 persen dalam satu tahun. Nah, Danny lah salah satu orang yang mengikuti tren tersebut. Setiap hari, ia mengaku yang dipikirkan adalah bagaimana bisa menggunakan ponselnya untuk bisa mendapat gambar terbaik

"Hingga di suatu titik aku merasa tidak mampu lagi memenuhi keinginanku mendapat gambar yang sempurna. Ketika orang memposting foto mereka di facebook atau twitter, akan ada misi tersembunyi dan itu bisa menjadi candu seperti alkohol atau obat," kata danny.

Di usia 15 tahun, Danny pertama kali memposting foto selfienya di facebook. Saat itu, orang banyak yang mengomentari fotonya misalnya hidungnya terlalu besar atau kulitnya terlalu gelap. Ketika mendapat komentar positif, Danny mengaku bangga luar biasa tapi langsung frustasi ketika ada komentar negatif tentang fotonya. Memang, remaja asal Newcastle ini mengaku ingin menjadi model.

Tahun 2011 ia pun menjajal untuk jadi model tapi agency mengatakan tubuh dan kulit Danny kurang pas untuk menjadi model. Itulah awal dari kecanduan selfienya. Dalam dua minggu, ia bisa mengambil 80 foto selfie. Tak ragu, ia sering berganti ruang untuk foto selfie di rumahnya. Kemudian meneliti gambarnya. Bahkan, Danny meniru gaya idolanya, Leonardo DiCaprio tapi tetap hasil jepretan kameranya tak membuat ia puas.

Di sekolah pun, Danny mulai sering tidak masuk jam pelajaran. Hingga di usia 16 tahun, ia terpaksa putus sekolah dan bisa foto selfie sepuasnya di rumah. Kondisi ini membuat orang tuanya, Robert dan Penny khawatir, Mereka sempat menyita ponsel Danny tapi puteranya malah merajuk. Kemudian, mereka membawa Danny ke London’s Maudsley Hospital.

"Awalnya aku dijauhkan dari ponsel selama sepuluh menit, lalu setengah jam, dan satu jam. Saat itu terasa berat dan aku diajak berjalan menelusuri lorong rumah sakit tanpa ponsel. Aku sadar bahwa orang-orang tak terlalu memperhatikan penampilanku," papar Danny.

Sang ayah, Robert, mengaku lega karena setelah terapi, Danny sudah tidak mengambil foto selfie lagi selama tujuh bulan. Ia menghimbau kepada para orang tua untuk tetap memperhatikan anak-anaknya dalam menggunakan teknologi, jangan sampai berujung pada kecanduan yang bisa membahayakan nyawa anak.

"Kedengarannya sepele dan tidak berbahaya. Tapi aku yang sudah merasakan kecanduan itu benar-benar berada dalam posisi bahaya dan aku tidak ingin berada dalam situasi itu lagi," tutur Danny yang kini bekerja di badan amal untuk meningkatkan kesadaran tentang isu kesehatan mental pada remaja.

Pendapat saya : Dalam kasus ini menurut saya ada dua peran yang sangat berpengaruh yaitu, peran orang tua, dan peran diri sendiri. Di zaman teknologi yang serba canggih seperti sekarang ini, seharusnya orang tua memberikan pemahaman yang baik terhadap anaknya dalam menggunakan semua alat teknologi (tidak hanya handphone saja) dan lebih mengawasi amak-anaknya termasuk anak yang sudah dalam tahap remaja seperti Danny ini. Menurut saya Danny ini memiliki kemunduran rasa percaya diri, kecanduan teknologi, OCD, dan Body Dysmorphic Disorder atau kecemasan berlebih terhadap penampilan pribadinya. Para remaja hendaknya harus mensyukuri apa yang sudah ada dalam dirinya, dan menggunakan teknologi bukan hanya semata-mata untuk mengikuti tren saja tetapi juga digunakan dengan sebaik-baiknya menuju pada sesuatu yang positif.

Sumber: http://inet.detik.com/read/2014/03/24/133138/2534681/398/2/kecanduan-                         selfie-danny-hampir-bunuh-diri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar